Bahaya Burung dan Satwa Liar Terhadap Pesawat Tanpa Awak
Bahaya Burung dan Satwa Liar Terhadap Pesawat Tanpa Awak
Sejak pesawat diterbangkan pertama kali oleh Wright bersaudara pada tahun 1903, objek terbang di udara, khususnya burung, disadari merupakan bahaya (hazard) yang dapat mengganggu keselamatan penerbangan sekaligus merugikan secara ekonomi bagi maskapai penerbangan. Tabrakan antara pesawat udara dengan burung (bird strikes) menyebabkan tambahan biaya operasional yang cukup besar bagi industri penerbangan sebagai akibat dari perbaikan pesawat yang rusak, keterlambatan dan pembatalan penerbangan, klaim asuransi, dll (J. Allan, Baxter, and Callaby 2016). Total kerugian yang ditanggung oleh maskapai penerbangan komersial secara konservatif mencapai 1,5 juta US$ per tahun (J. R. Allan 2000).
Selain itu bird strike juga dapat menyebabkan kecelakaan fatal yang menyebabkan fatalitas baik kepada kru pesawat maupun penumpang dan menghancurkan badan pesawat. Kecelakaan fatal pertama tabrakan pesawat udara dengan burung terjadi pada tahun 2012 di California, Amerika Serikat, dimana pesawat yang dipiloti oleh Carl Rogers, jatuh setelah menabrak burung dan mengakibatkan tewasnya pilot pesawat tersebut (ICAO 2012). (Thorpe 2003) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun (1912-2002), telah terjadi 55 kali kecelakaan pesawat udara fatal yang disebabkan oleh bird strike dan mengakibatkan 276 kematian dalam penerbangan sipil.
Beberapa kecelakaan fatal lainnya akibat bird strike adalah kecelakaan pada tanggal 10 Maret 1960 di Bandara Boston Logan dimana tabrakan dengan burung mengakibatkan rusaknya empat mesin pesawat Electra saat lepas landas, dan menewaskan 62 penumpang. Kecelakaan karena bird strike selanjutnya terjadi pada tahun 1973, ketika pesawat Learjet 24 terbang melewati kawanan burung saat lepas landas dari Bandara Peachtree-Dekalb di Georgia, AS. Pesawat jatuh karena burung masuk ke dalam mesin dan tujuh orang di dalam pesawat tewas. Pada 15 September 1988, penerbangan Ethiopian Airlines 737-200 mengalami mati kedua mesin saat lepas landas karena tabrakan dengan segerombolan burung merpati, akibatnya, mesin kehilangan daya dorong dan terjadi crash landing yang menewaskan 31 dari 105 penumpang di dalam pesawat (Thorpe 2003).
Di Indonesia belum ada laporan kecelakaan fatal pesawat udara akibat bird strike. Namun insiden terkait bird strike cukup sering terjadi, namun sayangnya kejadian tersebut belum terdata dengan baik. Beberapa insiden pesawat udara karena bird strike adalah kejadian di Bandara Juanda Surabaya pada tanggal 10 Juni 2017, dimana burung menabrak nose cone pesawat Boeing 737-800 milik Lion Air. Pada 26 September 2017, Pesawat Air Asia penerbangan dari Medan menuju Penang, terpaksa kembali ke Medan setelah burung masuk ke dalam salah mesin pesawat (Mydin Meera 2019). Selain itu terjadi tabrakan burung dengan pesawat Wings Air IW 1120 yang akan lepas landas pada tanggal 4 Maret 2018 di Bandara Sam Ratulangi Manado.
Gangguan burung terhadap penerbangan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah lalu lintas penerbangan serta perkembangan teknologi pesawat udara baik dari aspek kecepatan maupun teknologi mesin pesawat yang menghasilkan suara semakin senyap (ICAO 2012). Secara global, kejadian bird strike meningkat dari tahun ke tahun (Patrick and Shaw 2012). Berdasarkan ICAO Wildlife Strike Analysis, terjadi 97.751 kasus bird strike pada periode 2008 s.d 2015 meningkat signifikan dari periode sebelumnya, 2001 s.d 2007, yang melaporkan 42.508 kasus bird strike.
Pada umumnya gangguan burung terjadi di dekat bandar udara dengan ketinggian rendah. Statistik menunjukkan, 91% kejadian bird strike terjadi di area atau sekitar bandara udara. 31% dari jumlah tersebut terjadi pada saat lepas landas, dan 59% terjadi pada saat approach dan pendaratan. Bulan Agustus dilaporkan sebagai bulan dengan kejadian bird strike paling banyak dibandingkan bulan-bulan yang lain, sedangkan kerusakan pesawat udara paling besar akibat bird strike adalah kerusakan pada mesin pesawat ((IBIS) 2017). Selain itu peningkatan kejadian bird strike berkorelasi juga dengan meningkatnya jumlah burung dan satwa liar serta rusaknya habitat dari burung dan satwa liar tersebut. Burung tertarik ke area bandar udara karena tersedianya makanan dan minuman, sebagai pengganti habitat yang rusak dan keamanan.
International Civil Aviation Organization (ICAO) melalui ICAO Annex 14, document 9137, part 3 tentang Wildlife Control and Reduction memberikan rekomendasi ke seluruh negara anggota untuk melakukan tindakan preventif & antisipatif untuk mengendalikan dan mengurangi populasi burung sebagai upaya mendasar dalam mengatasi gangguan burung di bandar udara. Dua hal yang direkomendasikan oleh ICAO dalam dokumen tersebut adalah dengan melakukan Risk Assessment dan Habitat Management agar bandar udara tidak menjadi tempat yang menarik bagi burung.
Demikianlah ulasan mengenai Bahaya Burung dan Satwa Liar Terhadap Pesawat Tanpa Awak, yang telah kami kutif beberapa halaman dari Hanbook APDI semoga bermanfaat!.
Untuk informasi pelatihan dan sertifikasi di Jakarta dan diluar Jakarta bisa langsung mendaftar dengan menghubungi atau chat WhatsApp di bawah ini:
https://linktr.ee/sertifikasiindonesia